Wayang Kulit
Wayang Kulit
Wayang (berasal dari bahasa Jawa: ꦮꦪꦁ, translit. wayang, har. 'bayangan') adalah seni pertunjukkan tradisional
asli Indonesia yang berasal dan berkembang pesat di pulau Jawa dan Bali.
Sampai saat ini, catatan awal yang bisa didapat tentang pertunjukan
wayang berasal dari Prasasti Balitung pada abad ke-10. Pada 903 M, prasasti
yang disebut Prasasti Balitung (Mantyasih) diciptakan oleh Raja Balitung dari
Dinasti Sanjaya, dari Kerajaan Medang Kuno. Mereka menyatakan Si Galigi
Mawayang Buat Hyang Macarita Bimma Ya Kumara, yang artinya 'Galigi
mengadakan pertunjukan wayang untuk dewa dengan mengambil kisah Bima Kumara'. Tampaknya
fitur-fitur tertentu dari teater boneka tradisional telah bertahan sejak saat
itu. Galigi adalah seorang artis keliling yang diminta untuk tampil untuk acara
kerajaan yang istimewa. Pada acara itu ia menampilkan cerita tentang pahlawan
Bima dari Mahabharata.
Mpu Kanwa,
pujangga istana Airlangga dari Kerajaan Kahuripan, menulis pada 1035 M dalam
kakawinnya Arjunawiwaha: santoṣâhĕlĕtan kĕlir sira sakêng sang hyang
Jagatkāraṇa, yang artinya, "Ia tabah dan hanya layar wayang yang jauh
dari ' Penggerak Dunia'." Kelir adalah kata dalam bahasa Jawa untuk layar
wayang, syair yang dengan fasih membandingkan kehidupan nyata dengan
pertunjukan wayang di mana Jagatkāraṇa (penggerak dunia) yang
maha kuasa sebagai dalang (guru wayang) tertinggi hanyalah layar tipis dari
manusia. Penyebutan wayang sebagai wayang kulit ini menunjukkan bahwa
pertunjukan wayang sudah dikenal di istana Airlangga dan tradisi wayang telah
mapan di Jawa, mungkin lebih awal. Sebuah prasasti dari periode ini juga
menyebutkan beberapa pekerjaan sebagai awayang dan aringgit.
Ketika agama
Hindu masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan yang sudah ada, seni
pertunjukan ini menjadi media efektif menyebarkan agama Hindu dan ajaran Kitab
Weda dengan Pertunjukan wayang
menggunakan cerita Ramayana dan Mahabharata.
Para Wali Songo di Jawa, sudah membagi wayang
menjadi tiga. Wayang Kulit di timur, wayang wong di Jawa Tengah dan wayang
golek di Jawa Barat. Adalah Raden Patah dan Sunan Kalijaga yang berjasa besar.
Carilah wayang di Jawa Barat, golek ana dalam
bahasa Jawi, sampai ketemu wongnya isinya yang di tengah, jangan hanya ketemu
kulitnya saja di Timur di wetan wiwitan. Mencari jati diri itu di Barat atau
Kulon atau kula yang ada di dalam dada hati manusia. Maksud para Wali terlalu
luhur dan tinggi filosofinya. Wayang itu tulen dari Jawa asli, pakeliran itu
artinya pasangan antara bayang-bayang dan barang aslinya. Seperti dua kalimah
syahadat. Adapun Tuhan masyrik wal maghrib itu harus diterjemahkan ke dalam
bahasa Jawa dulu yang artinya Wetan kawitan dan Kulon atau kula atau saya yang
ada di dalam. Carilah Tuhan yang kawitan, pertama, dan yang ada di dalam hati
manusia. berikutnya.
Demikian juga
saat masuknya Islam, ketika pertunjukan yang menampilkan “Tuhan” atau “Dewa” dalam wujud manusia dilarang,
muncullah boneka wayang yang terbuat dari kulit sapi, di mana saat pertunjukan yang ditonton hanyalah
bayangannya saja. Wayang inilah yang sekarang kita kenal sebagai wayang kulit.
Untuk menyebarkan Islam, berkembang juga wayang Sadat yang memperkenalkan nilai-nilai Islam.
Perkembangan wayang pada dari abad 19 hingga abad 20 tidak lepas dari
para dalang yang terus mengembangkan seni tradisional ini. Salah satunya
almarhum Ki H. Asep Sunandar Sunarya yang telah memberikan inovasi terhadap
wayang agar bisa mengikuti perkembangan zaman dan dikenal dunia.
Sebenarnya,
pertunjukan boneka tidak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain
yang memiliki pertunjukan boneka. Namun, pertunjukan boneka (Wayang) di Indonesia
memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari
Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Representatif Budaya Tak Benda
Warisan Manusia (Intangible Cultural Heritage) pada 2003.
Tak ada bukti
yang menunjukkan wayang telah ada sebelum agama Hindu menyebar di Asia Selatan. Diperkirakan seni pertunjukan dibawa masuk oleh
pedagang India. Namun, kegeniusan lokal dan kebudayaan yang ada sebelum
masuknya Hindu menyatu dengan perkembangan seni pertunjukan yang masuk memberi
warna tersendiri pada seni pertunjukan di Indonesia.
Ketika
misionaris Katolik, Bruder Timotheus L. Wignyosubroto, FIC pada tahun 1960 dalam misinya
menyebarkan agama Katolik, ia mengembangkan Wayang Wahyu, yang sumber ceritanya berasal dari Alkitab.
Dalam kesenian
wayang kulit terdapat dua entitas penting yang selalu dinamis mengikuti
perubahan zaman dan isu yang hangat ditengah masyarakat yaitu sosok dalang dan
lakon (tokoh yang diperankan). Dalang sebagai aktor yang memainkan boneka
dengan mengarahkan penonton pada sebuah kisah (cerita) yang ingin dituju.
Dalang sebagai pengatur jalannya cerita pertunjukan wayang. Dalam pertunjukan
wayang kulit, dalang adalah bagian terpenting dan utama. Dalang berasal dari
akronim ngudhal piwulang. Kata ngudhal berarti membongkar atau menyebar luaskan
dan piwulang berarti ajaran, tuntunan, pendidikan, ilmu, informasi. Jadi fungsi
dalang dalam pergelaran wayang kulit bukan saja pada segi pertunjukan atau
hiburan, namun juga harus memberi tuntunan dan tontonan. Dalam seni pewayangan
merupakan sebuah tuntunan hidup bagi masyarakat Jawa, syarat akan kandungan
nilai-nilai luhur yang sampai sekarang masih didambakan. Dalang harus menguasai
teknik pedalangan sebagai aspek hiburan, juga berpengetahuan luas dan mampu
memberikan pengaruh. Seorang dalang yang hebat, tidak hanya cakap dalam
bercerita, akan tetapi juga mampu mengarahkan alur doktrinisasi terhadap
penonton serta menggunakan suatu simbol tertentu yang penuh penjiwaan, cipta
dan rasa . Sehingga pementasan wayang kulit tidak hanya sebatas hiburan rakyat
semata. Lakon sangat dipengaruhi unsur budaya lokal klasik dan budaya luar.
Lakon yang dipengaruhi budaya lokal didasarkan pada kisah-kisah leluhur dan
hasil kreasi dalang pendahulu, seperti tokoh Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.
Sedangkan lakon yang berasal dari budaya luar seperti yang dikisahkan dalam
kisah Ramayana dan Mahabarata dengan lakon Rama, Rahwana, hingga Pandawa Lima,
100 kurawa dan seterusnya
Wayang Kulit
Sejarah Wayang kulit
Secara harfiah dari
wayang adalah bayangan, tetap dalam perjalanan waktu pengertian itu berubah,
dan kini wayang dapat berarti pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula
berarti aktor dan aktris . Konon asal usul wayang kulit ini ada dua pendapat.
Yang pertama, wayang kulit berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa,
tepatnya di Jawa Timur. Seni wayang amat erat kaitannya dengan keadaan
sosiokultural dan kepercayaan masyarakat Indonesia, khususnya orang Jawa.
Seperti panakawan, tokoh yang dipandang sangat penting dalam pewayangan, yakni
Semar, Gareng Petruk, Bagong, hanya ada dalam pewayangan Indonesia, dan tidak
ada di negara lain. Selain itu, nama dan istilah teknis pewayangan, semua
berasal dari bahasa Jawa, khususnya Jawa Kuno, bukan dari bahasa lain. Pendapat
kedua menduga wayang berasal dari India, yang dibawa bersama agama Hindu ke Indonesia.
Sebagian besar ahli yang berpendapat bahwa wayang berasal dari India, negara
Eropa yang pernah menjajah India. Sejak tahun 1950, pada buku-buku perwayangan
sudah tertulis bahwa wayang berasal dari Pulau Jawa, sama sekali tidak diimpor
dari negara lain, khususnya India. Seni perwayangan, khususnya wayang kulit,
diperkirakan sudah lahir di Indonesia pada zaman pemerintahan Airlangga, yang
memerintah kerajaan Kahuripan (976-1012). Karya sastra Jawa yang menjadi sumber
cerita wayang sudah ditulis oleh pujangga Indonesia pada Abad 10, seperti kitab
Ramayana kakawin berbahasa Jawa Kuno yang ditulis pada masa pemerint ahan Raja
Dyah Balitung (989-910). Kitab ini disinyalir merupakan gubahan dari kitab
Ramayana karangan pujangga India, Walmiki. Para puangga tidak lagi hanya
menyadur kitabkitab dari mancanegara tetapi sudah mengubah dan membuat karya
sastra dengan falsafah Jawa. Wayang kulit mulai di pertontonkan zaman
pemerintahan Airlangga. Hal ini bisa dilihat dari beberapa prasasti yang dibuat
pada masa itu, yang menyebutkan kata-kata mawayang dan aringgit yang sudah ada
menunjuk pada pertunjukan wayang yang dimaksud di sini adalah wayang kulit.
Dengan demikian kesenian wayang kulit sudah ada sejak zaman Airlangga dan masih
berlangsung sampai saat ini. Wayang adalah jenis seni pertunjukan yang
mengisahkan seorang tokoh atau kerajaan dalam dunia perwayangan. Wayang berasal
dari kata Ma Hyang yang berarti menuju kepada roh spiritual, dewa atau Tuhan
Yang Maha Esa. Wayang kulit adalah walulang inukir (kulit yang diukir) dan dilihat
bayangannya dari kelir. Cerita wayang diambil dari buku Mahabharata atau
Ramayana. Kesenian wayang sudah ada di Indonesia sejak zaman kerajaan Hindu.
Pada zaman dahulu, wayang merupakan kesenian yang sangat populer. Pada masa
pemerintahan raja-raja di Jawa, wayang dipakai sebagai sarana hiburan bagi
rakyat. Karena orang Jawa memandang bahwa wayang mengandung filsafat yang dalam
dan dan memberi peluang untuk melakukan pengajian filsafat dan ajaran keagamaan
. Wayang kulit penuh dengan makna simbolik karena dalam pertunjukannya
menggambarkan perjalanan hidup manusia, yakni manusia yang mencari jati diri
akan asalnya, bukan manusia yang hanya hidup dan tidak mati. Gambaran yang
jelas dapat dilihat dari struktur lakon yang dibawakan oleh dalang yakni
menceriterakan perjalanan hidup salah satu tokoh pewayangan. Wayang kulit
sebagaimana adanya sekarang merupakan kreasi wali songo, khususnya Sunan Bonang
dan Sunan Kalijaga, dari membaca alam lingkungan masyarakat Jawa yang telah
tumbuh sebelumnya, menggunakan wayang guna menyebarkan ajaran Islam. Dengan
wayang kulit, sunan Kalijaga berharap pesanpesannya dapat dengan mudah diterima
masyarakat yang saat itu sangat menyenangi wayang. Kreatifitas para wali
memanfaatkan budaya setempat sebagai media penyebaran Islam yang efektif
tersebut, telah mempercepat pertumbuhan dan perkembangan Islam di Jawa. Selain
itu para wali juga berjasa dalam mempopulerkan seni wayang sebagai bentuk
kesenian pentas yang merupakan salah satu kekayaan budaya Indonesia yang telah
berakar jauh ke masa lalu dan cukup banyak mengalami pertumbuhan dan
penyempurnaan dari masa ke masa. Pagelaran wayang kulit dimainkan oleh seorang
yang kiranya bisa disebut penghibur publik terhebat di dunia. Bagaimana tidak,
selama semalam suntuk, sang dalang memainkan seluruh karakter aktor wayang
kulit yang merupakan orangorangan berbahan kulit kerbau dengan dihias motif
hasil kerajinan tatah sungging (ukir kulit). Ia harus mengubah karakter suara,
berganti intonasi, mengeluarkan guyonan dan bahkan menyanyi. Untuk menghidupkan
suasana, dalang dibantu oleh musisi yang memainkan gamelan dan para sinden yang
menyanyikan lagu-lagu Jawa. Tokoh-tokoh dalam pewayangan keseluruhannya
berjumlah ratusan. Orangorangan yang sedang tak dimainkan diletakkan dalam
batang pisang yang ada di dekat sang dalang. Saat dimainkan, orang-orangan akan
tampak sebagai bayangan di layar putih yang ada di depan sang dalang. Bayangan
itu bisa tercipta karena setiap pertunjukan wayang memakai lampu minyak sebagai
pencahayaan yang membantu pemantulan orang-orangan yang sedang dimainkan.
Setiap pementasannya selalu di penuhi penonton.
Perlengkapan Wayang Kulit
1.
Unsur
Benda Unsur benda yang ada dalam pagelaran wayang kulit adalah alat-alat yang
berupa benda tertentu yang digunakan dalam pagelaran wayang tersebut. Bahkan
terdapat unsur materi yang harus ada (karena tidak bisa digantikan). Unsur
materi yang dimaksud antara lain: wayang yang terbuat dari kulit lembu, kelir,
debog (batang pohon pisang), seperangkat gamelan, keprak, kepyak, kotak wayang,
cempala, dan blencong. Seperangkat alat tersebut harus ada, karena alat-alat
tersebut tidak bisa digantikan. Akan tetapi pada perkembangan zaman ada
modifikasi atau pengubahan yang dibuat berdasar kebutuhan atau kreatifitas
seniman, namun keberadaan wayang dan kelir tidak bisa ditinggalkan.
a.
Wayang
kulit
Di Jawa, wayang tentunya terbuat dari kulit.
Pada umumnya terbuat dari kulit sapi namun ada juga yang dibuat dari kulit
kambing yang sudah diproses menjadi kulit lembaran. Setiap perbuah wayang
membutuhkan sekitar ukuran 50 x 30 cm kulit lembaran. Proses pembuatannya pun
cukup lama, mulai dari direndam lalu di gosok terus dipentang supaya tidak
kusut kemudian dibersihkan bulu-bulunya, yang kemudian dipahat dengan peralatan
yang digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang
berkualitas. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai bentuk dan
ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk lainnya yang
masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda. Namun pada dasarnya, untuk
menata atau membuat berbagai bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga
berlubang. Selanjutnya dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan,
pada tangan ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya
dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai yang
fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman juga terbuat
berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya umumnya dengan
menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang ditempel atau bisa juga dengan
dibron, dicat dengan bubuk yang dicairkan. Wayang yang menggunakan prada,
hasilnya jauh lebih baik, warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan
yang bron. Baru setelah itu diberi pula untuk kemudian ditatah sesuai dengan gambar
pola, dan terakhir diwarnai. Jadilah wayang hasil kreasi seni pahat dan seni
lukis.
b.
Gamelan
Gamelan adalah seperangkat alat musik yang
menonjolkan metalofon, gambang, gendang, dan gong. Kata gamelan berasal dari
bahasa jawa, gamel, yang berarti memukul atau menabuh. Gamelan terbuat dari
kayu dan gangsa, sejenis logam yang dicampur tembaga atau timah dan rejasa.
Alat musik pengiring instrumen gamelan terdiri dari kendang, bonang, penerus,
gender, gambang, suling, siter, clempung, slethem, demung, saron, kenong,
kethuk, japan, kempyang, kempul, peking, dan gong. Gamelan yang dipakai untuk
mengiringi pertunjukan wayang memiliki nada seru slendro dan pelog. Gamelan
dimainkan secara bersama-sama membentuk alunan musik yang biasa disebut
gending. Inilah seni kreasi musik dalam pagelaran wayang.
c.
Kelir
Kelir Merupakan sebuah layar lebar yang
digunakan pada pertunjukan wayang kulit. Pada rumah Joglo, kelir di pasang pada
bagian “pringgitan”. Bagian ini merupakan bagian peralihan dari pada ranah
publik, pendopo dengan ranah privat, ndalem atau nggandok. Oleh karena itu
penonton wayang kulit yang tergolong keluarga, pada umumnya nonton di bagian
dalam ndalem, yang sering dianggep nonton mburi kelir. Nonton di belakang kelir
ini memang benar-benar “wewayangan”, atau bayang-bayang. Dari sinilah pengaruh
blencong yang seolaholah “menghidupkan” wayang akan dapat terlihat. Penonton
juga tidak terganggu oleh adanya gamelan. Bagi penonton, mereka menonton didepan
kelir, sehingga selain dapat melihat keindahan dari pada peraga wayang itu
sendiri, oleh karena tatah dan sunggingnya, berikut simpingannya, juga dapat
menyaksikan deretan pesinden atau waranggana.
d.
Debog
Debog Adalah batang pisang yang digunakan
untuk menancapkan wayang (simpingan). Di simping artinmya dijajar. Baik yang
dimainkan maupun yang yang dipamerkan, digunakan “debog”. Barang tentu untuk
menancapkan wayang yang dipamerkan juga ada aturan-aturan tertentu. Mana wayang
yang harus ada disebelah kanan, mana pula yang harus berada disebelah kirinya
sang dalang. Tugas menyimping ini sesungguhnya tidak terbatas hanya memasang
wayang yang harus dipamerkan, tetapi juga mempersiapkan segala sesuatu
keperluan dalang. Misalnya menyediakan wayang-wayang yang akan digunakan sesuai
urutan adegan jalannya cerita, menempatkan kotak wayang berikut keprak dan
kepyaknya, menyediakan cempala, memasang dan menyalakan maupun mengatur sumbu
blencong, lampu minyak yang khas digunakan dalam pertunjukan wayang kulit.
e.
Blencong
Blencong Adalah lampu minyak kelapa (lenga
klentik) untuk menerangi gawang kelir. Dahulu lampu terbuat dari tembaga
berbahan bakar sumbu dan minyak kelapa. Blencong didesain khusus, dengan cucuk
(paruh) dimana diujungnya akan menyala api sepanjang malam. Oleh karenanya
seorang penyimping harus mewaspadai pula keadaan sumbu blencong tersebut
manakala meredup, atau bahkan mati sama sekali. Tidak boleh pula api itu
berkobar terlampau besar, karena akan mobat-mabit. Kalaupun lampu penerangan
untuk dalang pada masa sekarang sudah menggunakan listrik, sesungguhnya ada
fungsi dasar yang hilang atau dihilangkan dari penggunaan blencong tersebut.
Oleh karena blencong adalah lampu minyak, maka apinya akan bergoyang manakala
ada gerakan-gerakan wayang, lebih-lebih waktu perang, yang digerakkan oleh ki
dalang. Ada kesan bahwa ayunan api (kumlebeting agni) dari blencong itu
seolah-olah memberikan nafas dan atau menghidupkan wayang itu sendiri. Hal yang
tak terjadi manakala penerangan menggunakan listrik atau (petromax). Saat ini blencong
sudah jarang digunakan dan dianggap kurang praktis dan merepotkan.
f.
Kotak
wayang
Adalah tempat untuk menaruh wayang yang
berbentuk kotak dan terbuat dari kayu, juga digunakan oleh dalang untuk dodogan
yang berfungsi memberi aba-aba pada pengiring dan menggambarkan suasana adegan.
Kotak wayang berukuran 1,5 meter kali 2,5 meter ini akan merupakan peralatan
dalang selain sebagaimana sudah diutarakan merupakan tempat menyimpan wayang,
juga sebagai “keprak”, sekaligus tempat menggantungkan “kepyak”. Dari kotak
tempat menyimpan wayang ini juga akan dikeluarkan wayang, baik yang akan
ditampilkan maupun yang akan disimping. Disimping artinya dijajar, dipamerkan
di kanan dan kiri layar (kelir) yang ditancapkan di debog (batang pisang).
Kotak akan ditaruh dekat dalang, di sebelah kiri, dan ditentang yang dekat
dalang ditempatkan kepyak. Sedang kepraknya justru bagian dari kotak yang
dipukul dengan cempala. Keprak adalah suara dhodhogan sebagai tanda, disebut
sasmita, dengan jenis tertentu diwujudkan pemukulan pada kotak dengan
menggunakan cempala. Sementara pada kepyak, berupa tiga atau empat lempengan
logam (kuningan) yang digantungkan pada kotak, juga dipukul dengan cempala,
dalam bentuk tanda tertentu, juga sebagai sasmita atau tanda-tanda untuk
mengatur perubahan adegan, merubah, mempercepat, memperlambat, sirep,
menghentikan atau mengganti lagu (gendhing). Terdengar nada yang berbeda antara
kepyak wayang kulit Jogya dan Surakarta.
g.
Cempala
Adalah suatu peralatan yang digunakan para
dalang dihampir semua pertunjukan wayang, yang berfungsi untuk memukul-mukul
kotak wayang. Cempala dibuat dari kayu dengan bagian pegangan dan bagian
pemukul yang bentuknya membulat. Kayu yang digunakan sebagai pembuat cempala
harus kuat dan berat. Biasanya dibuat dari kayu mahoni, nangka, sono, galih
asem. Pada zaman dahulu selain terbuat dari kayu, ada yang menggunakan cempala
dari tanduk kerbau. Cempala merupakan piranti sekaligus senjata bagi dalang
untuk memberikan segala perintah, baik kepada wiraniyaga, wiraswara maupun waranggana.
Bentuknya sangat artistik, bagaikan meru. Cempala dipukulkan pada kotak,
sebagai keprak, bisa pula ke kepyak, tiga/empat lempengan logam yang
digantungkan pada kotak wayang. Pada saat ke dua tangan dalang sedang memegang
wayang dan ini yang unik maka tugas untuk membunyikan keprak maupun kepyak,
dengan tetap menggunakan cempala, dilakukan oleh kaki kanan ki dalang. Cempala
dengan desain sedemikian rupa itu akan dijepit di antara ibu jari dan jari
telunjuk berikutnya. Menggunakan cempala memerlukan latihan untuk memperoleh
tingkatan ketrampilan tertentu. Memukul kotak dengan cempala, dalang dapat
memilih berbagai kemungkinan pembangun suasana dengan dhodhogan, seperti
ada-ada, pathetan, kombangan. Dapat pula sebagai perintah kepada karawitan untuk
mengawali, merubah, sirep, gesang atau menghentikan gamelan. Juga dapat
digunakan untuk memberikan ilustrasi adegan, seperti suara kaki kuda, suara
peperangan dan lain-lain. Artinya, ketika ke dua belah tangan ki dalang sedang
memainkan wayang, maka keprak atau kepyak dapat juga berbunyi. Suatu keprigelan
yang jarang dapat dilihat oleh para penonton wayang, karena biasanya ia sedang
asyik mengikuti adegan yang ditampilkan di kelir (layar). Padahal untuk
mencapai tingkat keprigelan tersebut, seorang dalang harus melakukan
latihan-latihan yang intensif. Betapa tidak, keempat anggota badan, tangan dan
kaki harus terus bergerak, sementara pikiran dan pandangan terfokus pada apa
yang dilakukannya di layar (kelir).
h.
Panggung
Adalah tempat yang agak tinggi terbuat dari
papan untuk menaruh peralatan wayang dan gamelan. Panggung bukan kebutuhan yang
pokok karena pada hakekatnya pertunjukan bisa dilakukan dimana saja asalkan
tempatnya cukup dan nyaman contoh di hotel, studio, pendapa dan sebagainya.
i.
Soundsystem
Adalah peralatan elektronik untuk mengeraskan
suara dalang dan gamelan. Sounsistem bukan kebutuhan pokok karena kalau tanpa
soundsistempun bisa berjalan cuma dengan volume yang kecil.
2.
Unsur
Manusia
Dalang,
penyimping, penabuh, dan sinden adalah orang-orang yang berperan penting dalam
kelancaran dan keberhasilan sebuah pagelaran wayang. Mereka adalah orang-orang
yang memiliki kemahiran khusus dalam bidangnya masingmasing. Berkat kemahiran
khusus tersebut, terkadang mereka tidak bisa digantikan oleh sembarang orang.
Peranan dalang sangat penting dan paling menentukan bagi perkembangan dunia
pewayangan.
a.
Dalang
Dalang adalah pengatur jalannya pertunjukan
wayang. Dalam pertunjukan wayang kulit, dalang adalah bagian terpenting. Dalang
berasal dari akronIm ngudhal piwulang. Kata ngudhal berarti membongkar atau
menyebar luaskan dan piwulang berarti ajaran, pendidikan, ilmu, informasi. Jadi
fungsi dalang dalam pergelaran wayang kulit bukan saja pada segi pertunjukan
atau hiburan, namun juga harus memberi tuntutan. Dalang harus menguasai teknik
pedalangan sebagai aspek hiburan, juga berpengetahuan luas dan mampu memberikan
pengaruh. Fungsi dalang adalah orang yang memberi penerangan dan bimbingan bagi
masyarakat yang tingkat sosialnya beranekaragam. Selain itu dalang merupakan
sutradara, pemain, artis, serta tokoh sentral dari pada suatu pertunjukan
wayang. Tanpa dalang, maka pertunjukan wayang itu tidak akan berjalan. Apalagi
untuk dalang pada pertunjukan wayang kulit. Komunikasi antara dalang dengan
unit pendukung, perlengkapan dan peralatan pertunjukan wayang merupakan
komunikasi yang unik. Melalui segenap indera yang dimilikinya, ia berkomunikasi
dengan kompleksitas orang dan peralatan yang lazim digunakan dalam suatu
pertunjukan wayang. Tanpa suatu skenario yang dipersiapkan terlebih dahulu,
namun wayang tampil secara spontan, kompak dan tidak pernah mengalami kesalahan
semalam suntuk. Sungguh suatu bentuk teater yang aneh karena meskipun tanpa
suatu skenario padahal dalang dapat memilih beratus lakon atau cerita baku
(babon pakem), carangan, anggitan (sanggit) tontonan dapat berjalan mulus dari
jejeran sampai tancep kayon. Sebagai figur utama sudah sewajarnya dapat tampil
dalam berbagai peranan, sebagai komunikator, seniman, pendidik masyarakat,
penghibur maupun kritikus sosial.
b.
Penyimping
Adalah orang yang membantu dalang dalam
menyiapkan wayang yang di jajar (disimping) pada debog . Tugas menyimping ini
sesungguhnya tidak terbatas hanya memasang wayang yang harus dipamerkan, akan
tetapi juga mempersiapkan segala sesuatu keperluan dalang. Misalnya menyediakan
wayang-wayang yang akan digunakan sesuai urutan adegannya, menempatkan kotak
wayang berikut keprak dan kepyaknya, menyediakan cempala, memasang dan
menyalakan maupun mengatur sumbu blencong, lampu minyak yang khas digunakan
dalam pertunjukan wayang kulit, dan lain-lain. Sekali-sekali juga membantu
pelayanan konsumsi (makan minum, rokok) untuk dalang. Untuk penyiapan ini
terkadang dibantu oleh anak-anak muda sebagai salah satu media pendidikan untuk
mengenali dan akhirnya mencintai budaya wayang.
c.
Panjak
(Nayaga/Pengrawit)
Adalah penabuh gamelan jawa disebut panjak,
nayaga atau pengrawit. Nayaga atau yaga berasal dari kata wiyaga yang berarti
semedi atau meditasi. bagi penabuh gamelan dalam pagelaran wayang, karena dalam
pagelaran wayang tidak disediakan notasi musik dalam memainkan gamelan.
Semuanya menggunakan intuisi seniman. Setiap kali menjalankan tugas mengiringi
pertunjukan wayang, para nayaga selalu berpakaian resmi, yaitu pakaian tradisional
dengan baju beskap, kain jarit dan blankon (ikat kepala dari bahan batik).
d.
Waranggana
(pesinden)
Pesinden juga sering disebut sinden, berasal dari kata pasindhian yang berarti yang kaya akan lagu atau yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden juga disebut waranggana, yang berasal dari kata wara yang berarti seseorang yang berjenis kelamin wanita, dan anggana berarti sendiri. Pada zaman dahulu, waranggana adalah satu-satunya wanita dalam pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Setiap menjalankan tugas, pesinden harus berpakaian resmi, memakai kain kebaya, rambut digelung atau di sanggul. Mereka harus duduk bersimpuh (duduk di lantai dengan posisi kaki dilipat). Posisi duduk bersimpuh merupakan posisi duduk yang di anggap sopan manakala menghadapi seseorang yang dihormati. Pesinden haruslah mempunyai suara yang khas sebagai pesinden, yaitu suara yang melengking merdu dengan cengkok suara yang luwes. Mereka harus hafal tembang-tembang tradisional lama dan baru, namun juga ketahanan fisik yang prima. Hal ini diperlukan karena biasanya pagelaran wayang kulit itu dilaksanakan semalam suntuk. Tentu harus mempunyai fisik yang sehat dan kuat untuk melantunkan lagu-lagu jawa serta menahan kantuk mulai senja hingga pagi hari.
GUnungan Wayang
Sebelum memulai suatu pertunjukan biasanya dalang akan mengeluarkan gunungan atau kayon. Sepertinya tak banyak yang mengetahui jika gunungan wayang sangat sarat makna. Sebagai generasi yang akan mewarisi kekayaan budaya Indonesia, sangat bijaksana jika kita mengetahui makna gunungan yang sangat kaya makna tersebut.
Biasanya sebuah gunungan dilengkapi dengan beberapa gambar yang mewakili alam semesta:
• Rumah atau balai dengan lantai bertingkat tiga dan pada bagian daun pintu rumah dihiasi lukisan Kamajaya berhadapan dengan Dewi Ratih.
• Dua raksasa berhadapan dengan membawa senjata pedang atau gada lengkap dengan tamengnya
• Dua naga bersayap
• Hutan belantara dengan satwa-satwa
• Harimau berhadapan dengan banteng
• Pohon besar di tengah hutan yang dililit seekor ular.
• Kepala makara di tengah pohon
• Dua ekor kera dan lutung di atas ranting
• Dua ekor ayam alas bertengger di atas cabang pohon
Gunungan pada wayang kulit berbentuk kerucut (lancip ke atas) melambangkan kehidupan manusia. Semakin tinggi ilmu dan semakin tua usia, manusia harus semakin mengkerucut (golong gilig) manunggaling Jiwa, Rasa, Cipta, Karsa, dan Karya dalam kehidupan kita (semakin dekat dengan Sang Pencipta).
Gapura dan dua penjaga pada Gunungan Wayang Kulit (Cingkoro Bolo dan Bolo Upoto), lambang hati manusia baik dan buruk. Tameng dan godho yang dipegang oleh raksasa tersebut diterjemahkan sebagai penjaga alam dan terang.
Pohon besar yang tumbuh menjalar ke seluruh badan dan puncak gunungan melambangkan segala budi-daya dan perilaku manusia harus tumbuh dan bergerak maju (dinamis) sehingga bermanfaat dan mewarnai dunia dan alam semesta. Selain itu, pohon besar yang ada pada gunungan juga melambangkan bahwa Tuhan memberi pengayoman dan perlindungan bagi manusia yang hidup di dunia ini.
Burung melambangkan manusia harus membuat dunia dan alam semesta menjadi indah dalam spiritual dan material.
Benteng pada gunungan melambangkan manusia harus kuat, lincah, ulet, dan tangguh. Sedangkan kera melambangkan sifat manusia harus seperti kera mampu memilih dan memilah baik-buruk, manis-pahit, karena kera mampu memilih buah yang baik, matang dan manis. Harapannya, manusia dapat memilih perbuatan baik dan buruk.
Harimau di alam liar digambarkan sebagai raja hutan, namun pada gunungan harimau dilambangkan bahwa manusia harus menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri (punya jati diri), harus mampu bertindak bijaksana dan mampu mengendalikan nafsu serta hati nurani untuk menjadi manusia yang lebih baik, yang pada akhirnya bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sekitar.
Rumah joglo (gapuran) melambangkan suatu rumah atau Negara yang didalamnya memiliki kehidupan aman, tenteram, dan bahagia.
Budaya bangsa yang sudah diakui kekayaannya oleh dunia harus dijaga, dan dimengerti, sehingga kelestariannya akan terus terjaga hingga generasi anak cucu
Comments
Post a Comment